SEJARAH PENGASUH PP AL-FATAH
ALMARHUM ALMAGHFURLAH SIMBAH KH. ABDUL FATAH
(PENDIRI PP AL FATAH)
Oleh KH.M.
Jauhar Hatta Hasan
MASA KECIL KH.
ABDUL FATAH
Abdullah Faqih, demikian nama seorang bayi yang lahir pada
pertengahan abad ke 19 yang kelak setelah menunaikan ibadah haji berganti nama
Abdul Fatah. Diperkirakan beliau dilahirkan pada tahun 1860 M di dukuh Sawangan
desa Selagara Kecamatan Madukara Kabupaten Banjarnegara Propinsi Jawa Tengah.
Putera kedua dari empat putera Simbah Kiyai Naqim tersebut memang dilahirkan di
tengah-tengah keluarga “Santri” yang memang teguh ajaran agama Islam.
Masa kecil KH. Abdul Fatah dihabiskan di kampung halamannya bersama
orang tua dan saudara-saudaranya. Yahya adalah kakaknya, sedangkan Bahri dan
Dahlan adalah adik-adiknya. Demikian menurut penuturan KH. Ridlo Fatah, putera
bungsu KH. Abdul Fatah.
Sebagaimana lazimnya situasi pada masa kolonialisme/penjajahan
Belanda, masa kanak-kanak KH. Abdul Fatah dilaluinya dalam kondisi yang masih
jauh dari alam kemerdekaan. Pendidikan formal yang ditempuhnya, tidak lebih
dari tingkat Sekolah Rakyat (SR) setingkat SD saja. Politik Belanda, yang
berkuasa lebih tiga abad, menutup jalan rakyat biasa untuk meneruskan
pendidikan yang lebih tinggi.
Situasi tersebut tidak mengendorkan semangat KH. Abdul Fatah untuk
terus ber- tholabul ‘ilmi. Apalagi
didukung suasana agamis keluarga Kiyai Naqim semakin mendorong himmah (cita-cita) KH. Abdul Fatah untuk
tidak berhenti-hentinya menimba ilmu agama Islam. Sehingga, hampir semua
waktunya dimasa kecil dihabiskan untuk mengaji kepada ayahnya, serta di
“langgar” Dukuh Sawangan.
Sebagai anak petani, KH. Abdul Fatah juga mengisi masa-masa di
kampungnya dengan membantu orang tuanya dalam bercocok tanam di sawah.
Keterampilan pertanian inilah, nantinya akan membentuk sikap tangguh dan dewasa
KH. Abdul Fatah dalam perjalanan hidupnya di masa-masa selanjutnya. Kegiatan
pertanian bersama orang tuanya ini, terus dilakukannya sampai meninggalkan
kampung untuk mondok ke Gunung Tawang Wonosobo.
Bakat, tabiat dan watak KH. Abdul Fatah, semenjak kecil memang
mencerminkan sebagai calon pemimpin, hatinya tulus, budinya baik, akhlaknya
terpuji, kecerdasannya diatas rata-rata temanya, serta selalu taat beragama dan
berbakti kepada kedua orang tuanya.
MASA MENGAJI
DAN MONDOK
Selepas masa kanak-kanaknya, KH. Abdul Fatah ingin memperdalam
pengetahuan agamanya kepada para ‘ulama. Ghirah dan hasrat yang kuat untuk
menguasai ilmu-ilmu agama benar-benar terpancar dalam diri KH. Abdul Fatah,
kelak cita-citanya meneruskan perjuangan para ‘ulama sebagai waratsatul anbiya, pewaris para ‘ulama.
Pondok Pesantren Gunung Tawang adalah tempat pertama kali KH. Abdul
Fatah menaungi dunia pesantren. Dibawah asuhan Romo Kiyai Balqin, pemuda KH.
Abdul Fatah meneruskan kajian agamanya yang pernah diterima dari ayahnya dan
Kiyai di Kampungnya. Selain itu alat (Nahwu-Shorof), Ilmu Fiqih, Tauhid dan
Tasyawuf merupakan materi yang dikembangkan di Pesantren ini.
Setelah usai merampungkan pendidikannya di Gunung Tawang, pemuda
KH. Abdul Fatah meneruskan kajiannya kepada Kiyai Syuhada’, di Desa Pesantren
Banjarnegara.
Dari pesantren, pemuda KH. Abdul Fatah terus mondok ke Pondok
Pesantren Kaweden Banyumas, suatu desa yang berdekatan dengan kota Kroya. Di
Pesantren ini, KH. Abdul Fatah senantiasa memperbanyak riyadhoh, Tirakat, puasa dan amalan-amalan lainnya yang dapat
meambah taqarrub kepada Allah SWT
serta membersihkan hati dan jiwa (tazkiyatul-Qalbi
Wa tashfiatutunn - nafsi).
Dikisahkan, beliau pernah menjalani makan buah “Pace” (pahit
rasanya) selama dua tahun. Beliau senantiasa ngliwet (menanak nasi) dengan
mencampur beras dan kerikil, agar makannya tidak banyak, sebab setiap makan
pasti memilah-milah kerikil terlebih dahulu.
Setelah mendapat izin dari gurunya untuk pulang atau pindah, pemuda
KH. Abdul Fatah bermaksud pulang dahulu ke Sawangan. Akhirnya, jadilah beliau
meninggalkan pesantren Kaweden dengan berjalan kaki, karena saat itu memang
alat transportasi masih amat jarang.
Dalam perjalanannya, sesampainya di Desa Prakancanggah, sudah
keburu sholat Maghrib (senja), sehingga KH. Abdul Fatah singgah di rumah Kepala
Desa Parakancanggah masa itu, yang bernama Mbah Rebath. Meskipun maksudnya
hanya ingin menumpang sholat saja, disini KH. Abdul Fatah bertemu dengan
jodohnya, yaitu salah seorang cucu Kepala Desa.
Dikisahkan pula, sungguhpun sudah dinikahkan, KH. Abdul Fatah masih
terus melanjutkan modoknya di Jawa Timur. Hal itu, selain isterinya masih
berusia 6 (enam) tahun, jugakarena
persyaratan yang disodorkan oleh mertuanya. Wal hasil, berangkatlah KH. Abdul
Fatah ke Jawa Timur.
Perjalanan Banjarnegara sampai Jawa Timur kurang lebih 350 KM.
Ditempuh dengan berjalan kaki, sampai akhirnya menimba ilmu diberbagai pondok,
antara lain di Pondok Pesantren Mangunsari, Pondok Pesantren Cepoko dan Pondok
Pesantren Mojosari. Ketika Pondok Pesantren tersebut berada di Kabupaten
Nganjuk. Disinilah KH. Abdul Fatah bertemu dengan beberapa teman yang
dikemudian hari menjadi pelopor pendiri Jam’iyah
Nahdlatul ‘Ulama seperti KH. Abdul Wahab Chasbulloh (pengasuh
PP.Tambakberas Jombang Jawa Timur). Setelah dari Mojosari, beliau masih mondok
lagi ke Pondok Pesantren Josremo Surabaya. Pengembaraan dalam menuntut ilmu
dari Jawa Timur ini, dilakukan oleh KH. Abdul Fatah sampai kurang lebih 17
tahun.
PERNIKAHAN DAN
KELUARGANYA
Seperti maklumi, KH. Abdul Fatah mengakhiri masa lajangnya setelah
pulang dari Pondok Pesantren Kaweden Banyumas. Dalam perjalanan pulangnya,
beliau singgah di rumah Kepala Desa Parakancanggah, Mbah Rebath, untuk
menunaikan sholat Maghrib.
Dikisahkan, bahwa usai melaksanakan sholat Maghrib, Mbah Rebath
terus berbincang-bincang dengan sang tamu (pemuda yang dulunya bernama Abdullah
Faqih). Diantara isi percakapannya beliau menanyakan tentang, ” jati diri sang
tamu, darimana dan mau kemana”, begitulah kira-kira ringkasannya. Sebagai
seorang santri yang perwira dan tertanam jiwa ketulusan dan kejujuran. Pemuda
tersebut menjawab dengan tegas, bahwa namanya Abdullah Faqih, “baru pulang dari
Pondok Pesantren Kaweden Banyumas, kemudian akan menuju rumah di Desa Sawangan”.
Mendengar sang tamu baru mondok, Mbah Rebath tertarik sekali,
sehingga beliau memanggil Danu, puteranya. Kata Mbah Rebath, ”Nu... ini ada
tamu, santri Pondok, dari Sawangan, coba ditawari saja menjadi Kiyai disini,
kalau bersedia akan saya buatkan Langgar (Mushola)”. Pemuda Abdullah Faqih
akhirnya menjawab dengan sikap bijak, “ saya bersedia jika orang tua saya
memberikan izin”, katanya. Setelah diadakan pertemuan antara Mbah Rebath, Mbah
Danu dengan orang tua Abdullah Faqih, akhirnya maksud baik Mbah Rebath
kesampaian juga, bahkan pemuda Abdul Fatah diminta pula untuk menikahi
puterinya Mbah Danu yang bernama Sinun.
Seperti di jelaskan di atas, bahwa Sinun saat tergolong anak-anak
(kurang lebih 6 tahun), sehingga setelah pernikahan praktis belum bisa
berkumpul dalam satu rumah. Batulah seusai mondok dari jawa timur, KH. Abdul
Fatah mulai menetap di Parakancanggah Banjarnegara.
Dari hasil pernikahan tersebut, Eyang Guru adalah KH. Abdul Fatah
menurunkan tiga orang putri dan tiga orang putra. Siti Maryam adalah putri
pertamanya yang meninggal dunia sebelum menikah, sedangkan putri yang ke dua
Siti Badryah, yang menikah dengan KH. Damanhuri, kemudian Umi Kulsum merupakan
putri beliau yang ke tiga, menikah dengan KH. Chamzah.
Putra ke empat Eyang Guru adalah KH. Hasan, menikah dengan Ny. Hj.
Sama’ I dan Ny. Hj. Choeriyah. Kemudian Qomarudin sebagai anak ke lima, iya
meninggal dunia sewaktu masih muda. Sedangkan putra ke enamnya adalah KH.
Ridlo, menikah dengan Ny. Nafsiyah.
Dari ke enam putra-putrinya tersebut sampai saat ini ( 12 Robiul
Akhir 1428 H ) menurut catatan penulis telah menurunkan 27 cucu, 98 cicit, 64
canggah dan 4 orang wareng. Mereka semua tersebar di berbagai kota di tanah
air, yang berprofesi beraneka ragam. Di antara mereka ada yang menjadi Ulama’,
Guru, Anggota Legislatif, Wirasswasta, Penjabat Pemerintah dsb.
MENDIRIKAN PONDOK PESANTRENN
Setelah menghabiskan umurnya malang melintang dalam mencari ilmu
agama diberbagai Pondok Pesantren, pada tahun 1897 M KH. Abdul Fatah pulang
dari Pondok Pesantren Josremo. Setibanya di Banjarnegara, sang mertua dan istri
sudah tidak sabar lagi menantikan Eyang Guru KH. Abdul Fatah. Sesuai rencana 17
tahun sebelumnya, santri tulen Abdul Fatah ahirnya benar-benar mukim di Desa
Parakancanggah.
Kedalamanya terhadap ilmu-ilmu agama yang menjadikan KH. Abdul
Fatah benar-benar sebagai seorang ‘Alim yang patut disegani. Tidaklah
mengherankan jika kemudian disaat kepulanganya dari Jawa Timur beliau diikuti
oleh banyak santri ( murid ). Sebagian santri tersebut sampai ada yang menikah
di Parakancanggah, hingga wafat di situ pula. Dikisahkan, Skholehan adalah
salah seorang santri yang berasal dari Nganjuk, iya wafat di Desa Sayer semasa
masih berjuang. Maka, sudah selayaknya sampainya di Parakancanggah, beliau
mendirikan sebuah langgar untuk para santrinya.
Tidak lama kemudian, karna posisi Parakancanggah wetan yang dekat
dengan jalan raya, Eyang Guru berkeinginan hijrah ke tempat yang lebih tenang,
yakni di Parakancanggah kidul ( Jambansari ). Di tempat inilah semenjak tahun
1901 M didirikan sebuah masjid,
sekaligus Pondok Pesantren.
Pondok Pesantren yang sepeninggalanya beliau dinamakan “ Pondok
Pesantren Al- Fatah ” ini merupakan salah satu tinggalan Eyang Guru, setelah bertahun-tahun
mencari ilmu. Diharapkan sesuai dengan misi beliau selama mondok di Pondok
Pesantren tersebut akan ber munculan kader-kader penerus Ahlussunah Waljama’ah
‘Ala- Madzhib Al- Arba’ah.
Semakin hari, Pondok Pesantren di Dusun Jambansari ini semakin
mendapat simpati dikalangan masyarakat Banjarnegara terutama kaum muslim
Parakancancanggah, hingga akhirnya benar-benar menjadi benteng pertahanan akhir
Umat Islam Banjarnegara dari masa ke masa.
BERDAKWAH
ولتكن منكم امة يدعون الى الخيرويا مرون بالمعروف وينهون عن المنكر واولئك
هم المفلحون (ال عمران 104)
“Dan hendaklah
ada diantara kaum sekalian segolongan umat yang mengajak (manusia) kepada dan menyuruh (mereka berbuat) yang ma’ruf
dan mencegahkejahatan. Mereka itulah orang-orangmendapatkan keberuntungan”
(Q. S Ali ‘mron :104).
ادع الى سبيل ربك بالحكمة والموعظة الحسنة وجادلهم بالتي هي احسن
(النحل 125)
“Serluruh
(manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik serta
bantahlah mereka dengan cara yang baik”
(Q. S An-Nahl :125)
Di ilhami oleh
mutiara-mutiara ayat di atas, Eyang Guru juga selalu menda’wahkan agama islam
dikalangan masyarakat Banjarnegara.
Pertama kali,
Eyang Guru KH. Abdul Fatah berda’wah Bil-Lisan (denagan berceramah) di
langgar yang baru saja beliau dirikan di Jambansari. Bentuk kegiatan da’wah
dikemas dalam pengajian mingguan. Pengajian terbuka lebar bagi kaum Muslimin.
Aktifitas semacam inilah yang sampai saat sekarang dikembangkan sebagai
pengajian bulanan.
Kemudian
berbagai hal juga ditempuh oleh Eyang Guru. Selain berupaya memberantas
bentuk-bentuk kemaksiatan, Beliau gigih melawan penjajahan belanda, prinsip
agama Hubbul-Wathon Minal-Iman, cinta tanah air sebagian dari iman
benar-benar didada Eyang Guru hingga detik paling akhir menghembuskan nafas,
kegigihannya dalam berda’wah nampak sekali pada Eyang Guru.
Kepiwaannya
dalam mengajak masyarakat juga dituangkan dengan cara Mujadalah Billati
Ahsan, maksudnya memberikan bantahan kepada orang-orang yang belum
mengikuti ajaran agama islam dengan argumentasi (alasan) yang baik dan tepat. Dikisahkan,
bahwa masyarakat Parakancanggah dahulu kebiasaan “nanggap wayang kulit” setiap
ada hajatan. Di dalam acara tersebut digunakan pula ajang perjudian dan
kemaksiatan lainnya. Eyang Guru KH. Abdul Fatah lalu menawarkan “pengajian
kitab” sebagai pengganti acara “wayangan”, dengan pertimbangan, selain mengirit
biaya, juga lebih membawa manfa’at bagi tuan rumah, tamu undangan, maupun
masyarakat. Setelah diupayakan sekali saja, akhirnya acara “pengajian kitab”
tersebut lebih disenangi dari pada kebiasaan mereka “wayangan”.
PERGI KE TANAH
SUCI DAN MENJADI MURSYID THORIQOH
Untuk menyempurnakan semua Ubudiahnya,
Eyang Guru menunaikan ibadah Haji ke tanah Suci. Belum ditemukan sumber yang
kuat, tentang kapan (tahun berapa) Eyang Guru menunaikan Haji yang pertama
kalinya. Jelasnya, pada tahun 1918, beliau menunaikan ibadah Haji yang ketiga
kalinya. Menurut penuturan Romo KH. Hasyim Hasan dari Mbah KH. Hasan,
dikisahkan pada masa itu Eyang Guru dipercaya masyarakat Banjarnegara untuk
memimpin jama’ah Haji wilayah tersebut, sehingga beliau dapat berkesempatan
berziarah ke Makkah Al-Mukarrumah dan Madinah Al-Munawaroh beberapa
kali. Mbah KH. Hasan sendiri pernah menyertai kepergian beliau dalam menunaikan
ibadah Haji yang kelima kalinya.
lbadah haji Eyang Guru tahun 1918 M
merupakan perjalanan yang paling bersejarah bagi beliau. Pada saat itu, selain
menunaikan ibadah Haji, Eyang Guru juga memperdalam ilmu tashawufnya.
Dikisahkan, beliau mengikuti suluk selama delapan puluh hari, sampai akhirnya
ketanah air diberi izin oleh Gurunya, Syaikh Ali Ridlo ibn Syaikh Sulaiman
Zuhdi untuk menjadi Mursyid Thoriqoh Naqsabandiyyah Kholidiyyah di daerah
Banjarnegara Jawa Tengah.
Semenjak itu, Parakancanggah selain
pusat santri dan kaum muslimin, juga diwarnai dengan kegiatan suluk yang
dilakukan oleh para murid Thoriqoh. Para santri tidak hanya terbatas anak-anak
atau kalangan muda saja, mereka yang sudah dewasa bahkan berusia lanjutpun bisa
mondok di situ.
KEPULANGAN KE
RAHMATULLAH
Semua makhluk, termasuk manusia,
pasti akan menemui ajalnya. Hanya Allah SWT lah tetap akan BAQO’ (abadi). Eyang
Guru KH. Abdul Fatah akhirnya juga tidaklepas dari ketentuan Allah SWT
tersebut. Pada hari Rabu, tanggal 20 Robi’ul Akhir 1361 H(bertepatan tahun 1941
M), Eyang Guru Romo KH. Abdul Fatah berpulang keharibaan Allah SWT Tuhan
pemilik sekalan alam. Inalillahi wa ina ilaihi roji’un. Usia
Almaghfurlah KH. Abdul Fatah saat itu kurang lebih 81 tahun. Betapa banyak
pemikiran, perjuangan dan jasa-jasa beliau tinggalkan. Adalah kewajiban kita,
meneruskan perjuangan beliau. Kita patut meneladani kegigihan, ke-juhudan ,
jihad dan mujahadah beliau semenjak kanak-kanak, merantau mencari ilmu hingga
menjadi ‘ulama.
sekian dulu,tunggu selanjutnya hanya di karya ota
Tidak ada komentar:
Posting Komentar